Kategori

Selasa, 13 Februari 2018

Coding dan Encoding dalam Shadaranikaran



           Sanketa (kode) adalah sebuah bagian integral dari abhivyanjana. Setiap code adalah sebuah keharusan dalam termanifestasikannya bhava (emosi). Sanketa merupakan simbol yang teroganisir dalam aturan-aturan yang spesifik. Sebagai contoh, bahasa adalah sebuah sanketa. Sehingga para pengirim informasi menyederhanakan kode-kode yang ada. Agar komunikasi bisa berhasil, baik pengirim maupun penerima informasi harus memahami kode-kode yang digunakan. Abhivyanjana dapat berupa kode verbal maupun non-verbal, dan kedua kode dapat digunakan secara simultan.
            Pada abhivyanjana verbal, kata-kata/bahasa digunakan sebagai kode. Proses abhivyanjana terdiri dari empat tahap. Mengacu ke konsep bahasa sebagai kode yang dipahami dalam linguistik bahasa Sansekerta dan filsafat bahasa Hindu. Di sini, ada empat tingkatan kata atau tahapan bahasa (Shabda atau Vak) yang melewati: para, pashyanti, madhyama dan akhirnya kata yang terucap atau vaikhari. Dengan kata lain, bhava dapat dirasakan secara eksternal hanya ketika datang ke tingkat vaikhari.
            Vaikhari Vak adalah bentuk perwujudan kata yang dalam hal ini berada pada tingkat yang paling eksternal. Kata tersebut sering diucapkan oleh pembicara dan didengar oleh pendengar. Sebelum diucapkan, kata atau Vak berada dalam pikiran atau intelektualitas, dan disebut sebagaimadhyama. Ini adalah ide, atau serangkaian kata-kata, sebagaimana dipahami oleh pikiran setelah mendengar atau sebelum berbicara keluar. Ini dapat dianggap sebagai pidato dalam diri. Selanjutnya dan tahap terdalam, menurut Bhartrihari, adalah pashyanti VakPashyanti adalah Vak pada tingkat intuisi langsung, dan dapat dipahami melalui pengalaman. Di sini, manusia mendapatkan pengalaman langsung dari vakya-sphota, sebagaimana yang dikatakan Bhartrihari. Dalam Vakyapadiya dan komentar Vritti nya, istilah ‘para’ tidak digunakan untuk menunjukkan tingkat keempat dalam berbicara. Bhartrihari mengatakan berbicara dibagi menjadi tiga bagian, dan ia memperlakukan tingkat ketiga (pasyanti) sebagai akhir. Hal ini kemudian dalam tradisi bahwa nama ‘para’ muncul, mengacu pada tingkat keempat. Para Vak adalah Shabda Brahman.
           Dalam kasus abhivyanjana non-verbal, komunikator memiliki berbagai macam kode alternatif. Bharata Muni menggambarkan alternatif dari abhivyanjana termasuk gerakan anggota badan, representasi melalui make up dan ekspresi temperamental yang disampaikan lewat berbagai suara. Beberapa dari mereka sepenuhnya menangani aspek non-verbal sementara yang lain terdiri beberapa bentuk tersebut. Di bawah angika abhinaya, ia telah mengarahkan sebanyak 122 jenis karma (seni pertunjukan atau abhinayas) dengan menggunakan enam Anga (tubuh) dan enam upangas (penyukung tubuh) dari tubuh manusia (Adhikary, 2007d).
            Menurut Bharata Muni, setiap bhava dikaitkan dengan baik pengalaman indrawi maupun emosi estetis. Dia menganggap bhavas sebagai representasi kondisi mental. Mereka tidak datang dari luar, melainkan mereka selalu tetap dalam pikiran. Namun, mereka tidak selalu dalam keadaan yang terbangun. Mereka harus atau diaduk oleh faktor eksternal yang disebut vibhava yang merupakan stimulus atau penentu seperti lagu, burung, gambar, dll. Vibhava mungkin berupaalamvana atau uddipana. Ketika kita melihat seekor ular, spontan muncul emosi tertentu yang mana emosi tersebut disebut alamvana vibhava. Rasa takut akan meningkat karena gerakan lidah ular dan stimulus tersebut memberikan kontribusi untuk peningkatan vibhava yang disebut sebagai uddipana vibhava.
            Setelah bhavas dirangsang karena vibhavaanubhava telah di sana, yaitu, semacam manifestasi yang sekilas, mengangkat mata, senyum, dll. Anubhavas bisa sesuatu yang internal atau eksternal. Bharata Muni telah mengidentifikasi tiga anubhavas internal dan delapan yang eksternal. Parabhavas perlu semacam kode untuk manifestasi mereka. Untuk ini, mereka harus melewati prosesabhivyanjana.
            Dengan selesainya proses abhivyanjanabhavas bermanifestasi sebagai sandesha. Dengan kata lain, sandesha adalah sebuah pesan yang merupakan manifestasi dari bhava yang menjadi bentuk (kode) agar dapat dipahami oleh indera. Ini menjadi semacam feedback bahwa si pengirim ingin menyampaikan kepada si penerima. Ini adalah produk fisik yang sebenarnya bahwa sumberencode, dan di mana alat indera penerima dapat mendeteksi. Dengan kata lain, hal tersebut adalah ide kode yang menyampaikan makna. Hanya dengan melakukan ‘namaste’ untuk menjelaskan semua pesan filosofi ‘Adwaita Vedanta’.
            Pesan dalam verbal atau non-verbal mungkin tergantung pada encoding yang dilakukan oleh pengirim. Dalam kasus Natyashastra, pesan telah dibedakan sebagai angika (gerakan anggota badan), vachika (penyampaian lisan), aharya (representasi melalui kostum, make up dan perangkat eksternal) dan sattvika (emosi dan konsentrasi), masing-masing terdiri berbagai jenis. Misalnya, angika terdiri dari tiga jenis, sedangkan vachika memiliki dua belas bentuk.
            Untuk transmisi sandesha, perlu ada sarani (saluran atau media), yang merupakan sarana di mana perjalanan sandesha melintasi ruang. Pesan yang dikirim oleh sumber atau pengirim tidak dapat mencapai penerima tanpa saluran atau media. Saluran mungkin sesuai alami untuk sifat biologis manusia seperti: auditori (pendengaran), taktil (menyentuh), visual (melihat), penciuman (bau) dan rasa (mencicipi melalui pengecap di lidah) saluran. Saluran bisa berupa yang artifactual seperti lukisan, patung, surat, dll. Kedua jenis saluran secara luas dijelaskan dalam Natyashastra. Saluran mungkin berupa benda mekanik seperti telepon, radio, TV, komputer dan sebagainya. Perlu untuk mempelajari apakah teks mewarisi konsep semacam saluran mechanical.
            Komunikasi perspektif Hindu tidak akan selesai kecuali kedua manas (pikiran) dan sharira (tubuh manusia) dipahami sebagai sarani. Setidaknya hal tersebut merupakan media guna mencapai proses komunikasi pada dimensi spiritual. Manas dianggap sebagai indriya keenam (organ sensorik) dalam kepercayaan Hindu dan dianggap sebagai vibhu (master) dari panca indera. Namun, vibhu bukanlah otoritas tertinggi dalam hal ini. Sang vibhu adalah atman. Melampaui dari kehidupan mental merupakan fondasi dari filosofi Hindu. Bahkan, kehidupan manusia adalah sarana, bukan akhir. Dalam kepercayaan Hindu, tubuh bukanlah kebenaran hakiki meskipun sangat penting untuk eksistensi duniawi. Tubuh hanya tempat tinggal sementara atman, dan itu adalah alat atau sarana yang digunakan oleh atman. Dengan kata lain, sharira adalah sarani(saluran) dengan menggunakan atman yang telah mencapai moksha.
            Dengan penggunaan yang tepat dari berbagai saranis seperti dibahas di atas, pengirim berhasil mengirimkan pesan ke penerima. Seperti abhivyanjana sangat penting bagi pengirim sedangkanrasaswadana untuk penerima. Istilah yang digunakan di sini harus dipahami sebagai ‘istilah teknis’ yang membawa berbagai makna. Radiusnya adalah dari menerima pesan ke decoding dan menafsirkan pesan dan akhirnya ke pencapaian rasa tersebut. Hindu ortodoks menggunakan istilah ini untuk merujuk pada pengalaman rasa oleh penerima (sahridaya). Dalam kasus komunikasi manusia yang bersifat kasual, rasaswadana dikatakan berhasil jika penerima membagi pesan sebagaimana dimaksud oleh pengirim. Namun, dimensi spiritual melampaui hal tersebut.
           Tidak semua komunikasi menghasilkan pencapaian rasa dalam bentuk yang ideal. Rasa adalah esensi atau kenikmatan estetika. Bharata Muni mengistilahkan hal ini sebagai rasa karena hal tersebut layak untuk dinikmati. Ada rasa unik untuk setiap bhava. Menurut Bharata Muni, kombinasi vibhavas dan anubhavas bersama dengan vyabhichari bhavas akan menghasilkan rasa. Ini adalah sthayee bhava yang mengarah ke rasa. Apa yang terjadi adalah sthayee bhavadirangsang oleh vibhava di dalam pikiran dan akan meningkat dengan anubhava dan sanchari bhava, dan pikiran akan sangat menerima pengalaman rasa pada pengalaman ini.
           Masalah bagaimana makna dari pesan dicapai telah banyak diperdebatkan oleh para sarjana dan filsuf. Misalnya, ada perdebatan mengenai unit makna. Beberapa melihat kata-kata sebagai unit makna dalam komunikasi verbal, dimana Bhartrihari menganggap total kalimat sebagai unit dari makna. Bahkan jika sebuah kata diambil sebagai unit makna terdapat pandangan yang beragam tentang apa jenis entitas yang ditandai oleh kata.
            Empat tingkat kata dalam kasus abhivyanjana yang memiliki tingkatan yang sesuai ketika mencoba rasaswadana. Sedangkan shravana sesuai dengan vaikhari, sebagaimana  manana, nididhyasana dan sakshatkara  dengan madhyamapashyanti dan para masing-masing. Tidak semua orang yang terlibat dalam komunikasi akan melalui semua tahapan dari abhivyanjana dan rasaswadanaSadharanikaran (komunikasi) sebagai kegiatan sosial dan mental akan hanya membutuhkan vaikhari dan madhyama di bagian pengirim dan shravana dan manana di bagian penerima. Tapi, dimensi spiritual dari proses tersebut juga akan membutuhkan tingkat lanjut. Dengan kata lain, tidak semua pihak yang berkomunikasi akan mencapai rasaswadana dalam bentuk yang ideal. Sebaliknya, itu hanya dapat dialami oleh sahridayas dalam arti ideal istilah.
            Bharata Muni menjelaskan sadharanikaran sebagai titik klimaks dari drama ketika penonton menjadi satu dengan aktor yang menempatkan pengalaman melalui aktingnya di atas panggung dan secara bersamaan menghidupkan kembali pengalaman yang sama. Proses ini telah digambarkan sebagai rasaswadana. Ketika sadharanikaran terjadi, berbagi atau penyatuan dari pengalaman telah berlangsung dalam bentuk yang penuh. Menurut Bhattanayak, esensisadharanikaran adalah untuk mencapai generalisasi atau kesatuan antara orang-orang.
            Dua hal yang harus dicatat di sini. Pertama, vak (kata atau ucapan) dalam kontinum para-sakshatkara diidentifikasi dengan sang Brahman. Oleh karena itu, sakshatkara adalah keadaan mengalami Diri sebagai Brahman (“Aham Brahma asmi“). Kedua, Brahman dianggap sebagai rasa tertinggi (“rasovaisah“) dan karenanya rasaswadana di dalam tujuan utamanya akan menjadi rasaswadana dari Brahman. Dalam tahap ini juga ada kesatuan Diri dan sang Brahman. Dalam kedua hal, sadharanikaran memenuhi syarat untuk menjadi sarana bagi tercapainyamoksha (Adhikary, 2007c).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar