Setelah kerajaan
Majapahit runtuh sekitar abad ke-15, Bali menjadi benteng terakhir bertahannya
agama Hindu. Pada masa ini, Dang Hyang Nirartha yang berasal dari Majapahit
diterima dan diangkat sebagai guru dan pendeta kerajaan pada masa pemerintahan
raja Dalem Batur Enggong di Bali. Atas restu dari raja Dalem Batur Enggong,
Dang Hyang Nirartha melakukan pembaharuan terhadap sistem sosial religius
masyarakat Bali. Tatanan desa pakraman yang diperkenalkan oleh
Mpu Kuturan pada abad ke-10 Masehi, diperbaharui oleh Dang Hyang Nirartha
menjadi sistem wangsa yang secara luas lebih dikenal sebagai
sistem kasta. Tujuannya adalah untuk mengukuhkan kekuasaan pemerintahan
feodalisme yang dipengaruhi oleh pola kerajaan Majapahit.
Sayangnya, hanya
anggota tiga golongan pertama yang mendapat pengakuan dan perlakuan
terhormat dalam masyarakat, dengan sebutanTri Wangsa. Penyimpangan
yang dilakukan dalam sistem wangsa ini adalah penggolongan
masyarakat didasarkan pada status kelahiran dan garis keturunan seseorang,
bukan berdasarkan bakat, sifat, dan pekerjaan seseorang seperti pada
konsep Catur Varna menurut Veda.
Penyimpangan tersebut terlihat pada fakta bahwa keluarga Dang Hyang Nirartha
dan seluruh keturunannya diangkat menduduki golongan brahmana; keluarga
Raja Dalem Batur Enggong beserta keturunannya mendapat status sebagai golongan
ksatria; para arya atau senapati dan prajurit pengikut Dang Hyang Nirartha dari
Majapahit menjadi para waisya; sedangkan para pemimpin kerajaan-kerajaan lain
di Bali yang tunduk kepada Raja Dalem Batur Enggong menjadi diberi label
sebagai golongan sudra. Diskriminasi terlihat jelas pada para warga
pemberontak yang merupakan penduduk asli Bali, dianggap sebagai warga jaba atau
diluar sistem kasta.
Konsep desa pakraman yang telah menjadi struktur
sosial-religius umat Hindu di Bali pada masa itu, dibebani dengan sistem
”kasta”, dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaan raja. Pakramanjuga
dibebani dengan tafsiran agama yang berbasiskan pada status kasta. Sehingga
upacara-upacara keagamaan (yajna) yang dilakukan berubah menjadi ajang
adu gengsi dan pamer status untuk menunjukkan kasta seseorang. Dalam masa itu
Dang Hyang Nirartha dan Raja Dalem Batur Enggong mengeluarkan banyak babad dan
purana yang mengatur tentang pelaksanaan upacara atau ritual bernafaskan kasta
atau wangsa. Dalam babad-babad seperti itu disebutkan bahwa
hanya parapedanda atau brahmana keturunan Dang
Hyang Nirartha yang boleh menjadi pemimpin upacara keagamaan. Upacara-upacara
agama ditandai dengan mempersembahkan sarana sesajen dan persembahan yang
menelan biaya mahal. Semakin megah dan semakin banyak ragam sesajen yang
disediakan, semakin tinggi status sosialnya dalam masyarakat.
Tradisi yajna atau upacara keagamaan yang berdasarkan status
kasta dan gaya kepemilikan individu atas tanah tersebut saat ini semakin
menunjukkan sisi buruknya. Demi status kasta, untuk melaksanakan yajna, masyarakat
Bali terpaksa harus menjual tanahnya. Penjualan tanah sebagai aset kekayaan
yang sangat penting itu sering berakibat terjadinya proses pemiskinan. Anehnya,
para brahmana keturunan tersebut tidak pernah berupaya untuk melakukan
revitalisasi terhadap penyimpangan ini. Sebagian dari mereka justru larut dalam
budaya seperti itu. Sebab secara ekonomi, mereka (brahmana) mendapatkan
keuntungan dari pelaksanaan upacara besar-besaran. Hal ini terjadi, karena
berbagai sarana upakara dan sesajen yang dibutuhkan dalam pelaksanaan ritual
harus dibeli dari para pedanda tersebut.
Upaya melestarikan sistem kasta tersebut juga masih terlihat dengan jelas dalam
berbagai praktek keagamaan masyarakat Hindu di Bali pada zaman modern ini. Hal
ini terlihat pada pelaksaan upacara-upacara keagamaan besar yang hanya boleh
dipimpin oleh para pedanda (pendeta) yang disebut sebagai Tri
Sadhaka. Tri Sadhaka adalah sebutan bagi para pendeta yang merupakan
Pedanda sekte Siwa, Pedanda sekte Buda, dan Pedanda sekte Bujangga Wesnawa,
yang bertugas memimpin rangkaian upacara-upacara besar keagamaan di Bali. Dari
berbagai sekte yang pernah berkembang di Bali, ketiga sekte inilah yang
terbesar dan masih berpengaruh hingga kini. Menurut tradisi turun temurun,
hanya para brahmana yang berasal dari tiga wangsa inilah yang
boleh memimpin upacara-upacara tersebut. Namun karena penetapan pendeta pemimpin
upacara itu sangat bernuansa kasta, terjadilah upaya pelurusan yang dilakukan
oleh generasi muda Hindu. Mereka menganggap, semua pendeta yang memenuhi
kualifikasi kesuciannya dapat memimpin upacara itu, tidak peduli kedudukan dan
status sosialnya dalam masyarakat. Contoh kasus aktual sehubungan dengan hal
tersebut muncul pada saat pelaksanaan upacara Labuh Gentuh dan Bhatara Turun
Kabeh di Pura Besakih yang puncak acaranya pada dilaksanakan pada tanggal 18
April 2000 (Majalah Hindu Raditya, Juni 2000). Kemelut terjadi pada saat
penentuan siapa yang boleh menjadi sulinggih atau pemimpin
upacara tersebut. Sesuai keputusan PHDI Pusat No 102 Um/IV/B/PHDIP/2000
menetapkan bahwa semuasulinggih (sarwa sadhaka) berhak
menjadi pemimpin upacara. Namun dalam prakteknya, hanya parapedanda dari Tri
Wangsa saja yang dianggap sebagai pemimpin upacara yang sah, sedangkan
pendeta dari soroh lain hanya dianggap membantu ”kerja
bhakti”. Penetapan siapa yang boleh menjadi pemimpin upacara dalam
upacara-upacara di Pura Besakih itu, seolah-olah menjadi penyakit kronis yang
selalu mengundang pertengakaran umat Hindu di Bali setiap tahun. Sebagian
komunitas umat yang menyadari penyimpangan yang terjadi dalam praktek keagamaan
tersebut berupaya melakukan koreksi. Namun hal itu berakibat pada terjadinya
perselisihan paham diantara komunitas-komunitas umat Hindu di Bali.
Masih adanya pengaruh sistem kasta hingga saat ini pada kehidupan umat Hindu di
Bali, tercermin pada kasus terjadinya konflik pada tubuh lembaga Parisada Hindu
Dharma Indonesia. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) merupakan lembaga
tertinggi umat Hindu di Indonesia yang bertugas mengayomi, membina dan
memajukan umat Hindu Indonesia. Namun dalam perjalanannya sejak tahun
1959, lembaga ini masih diwarnai oleh nuansa feodalisme dalam tubuh
kepengurusannya. Beberapa posisi kepengurusan masih wajib diisi oleh para sulinggih yang
merupakan keturunan dariTri Wangsa.
Perpecahan umat Hindu akibat masih kuatnya pengaruh sistem kasta dalam tubuh
kepengurusan PHDI, mencapai pucaknya dalam kasus PHDI Propinsi Bali tahun
2001 (Bali Post, 21/11/2001). Tanpa persetujuan pihak PHDI Pusat, PHDI Tingkat
I Propinsi Bali melaksanakan pertemuan pengurus atau Lokasabha IV yang
dilaksanakan di Pura Gunung Lebah, Campuhan, Kabupaten Gianyar, pada
tanggal 23 November 2001. Lokasabha tersebut sejak awal telah ditentang banyak
kalangan Hindu. (Bali Post, 23/11/2001). Ratusan umat Hindu melakukan aksi
unjuk rasa di halaman Gedung Jayasabha, tempat kediaman resmi gubernur Bali.
Alasan umat Hindu tidak menyetujui pelaksanaan lokasabha PHDI Bali di Campuhan
tersebut adalah karena dalam pelaksanaan maupun susunan kepengurusan yang
terbentuk tidak mewakili seluruh aspirasi dan komponen umat Hindu yang ada di
Bali (Koran Tempo, 25/02/2002). Hal itu berbuntut pada tidak diakuinya
kepengurusan PHDI Lokasabha Campuhan tersebut oleh PHDI Pusat yang dituangkan
dalam Surat PHDI Pusat No. 11/Um.02/Parisada Pusat/XI/2001 (Bali Post,
29/01/2002). Alasannya adalah pelaksanaan lokasabha tersebut tidak berdasarkan
prinsip kesetaraan, demokrasi, dan keadilan, serta tidak mengakomodasi aspirasi
segenap komponen umat Hindu.
Menurut Putra (2002), kemelut yang terjadi pada PHDI Bali sesungguhnya berawal
dari kelemahan yang cukup mendasar dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga (AD & ART) Parisada hasil Mahasabha VIII bulan September 2001.
Kelemahannya adalah tidak diberikannya definisi secara jelas berbagai istilah
penting, sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan berbagai penafsiran dalam penerapannya.
Putra mencontohkan, adanya istilah ”sampradaya” dan ”komunitas umat”. Keduanya
adalah istilah-istilah yang baru bagi umat Hindu, dan tidak dapat dipahami
secara jelas.
Istilah ”sampradaya” dan ”komunitas umat” sesungguhnya dimaksudkan untuk
membungkus istilah ”soroh” yang merupakan pengelompokkan warga Bali berdasarkan
garis keturunan (ikatan geneologis) para leluhurnya. Ada ratusan soroh dalam
umat Hindu di Bali. Menurut Putra (2002) istilah soroh sering
dipandang secara negatif sebagai pengelompokkan orang berdasarkan
keturunan/ikatan geneologis yang sesungguhnya merupakan perwujudan sistem
kasta. Pengikut sertaan utusan soroh sebagai peninjau dalam
kegiatan Mahasabha PHDI, memberikan ketidakjelasan, terutama bila dikaitkan
dengan kedudukannya dalam organisasi Parisada. Jelasnya, soroh mana saja yang
berhak menjadi peninjau yang memiliki hak bicara dan dapat dipilih sebagai
pengurus PHDI? Mengingat di Bali terdapat ratusan soroh, sedangkan menurut
pemberitaan media masa, hanya beberapa soroh tertentu yang diundang
untuk menjadi peserta atau peninjau, misalnya soroh Pasek,
Pande, dan Bujangga Waisnawa. Kecemburuan timbul pada soroh-soroh yang
lainnya. Sebaliknya, bila seluruh soroh diundang sebagai
peserta atau peninjau dalam Mahasabha atau Lokasabha PHDI, dikuatirkan
musyawarah lembaga tertinggi umat Hindu tersebut hanya akan menjadi ajang
konflik kepentingan berbagai soroh.
Sedangkan sampradaya adalah istilah untuk menyebut sebagian
warga umat Hindu yang membentuk kelompok studi spiritual dan mempraktekkan
ajaran-ajaran agama Hindu yang praktek keagamaannya lebih
menekankan pada pelaksanaan aspek-aspek spiritual.
Ajaran-ajaran tersebut berkembang dan ditekuni oleh sebagian umat Hindu di
Indonesia, sebagai hasil dari interaksi dan komunikasi sebagian generasi muda
Hindu di Indonesia dengan komunitas-komunitas spiritual yang ada di India.
Ajaran sampradaya-sampradaya tersebut umumnya lebih dekat
dengan ajaran-ajaran Veda yang sesungguhnya, dan tidak banyak dikaburkan dengan
pengaruh adat-istiadat seperti yang terjadi pada agama Hindu Bali.
Contoh-contoh sampradaya tersebut antara lain (Putra, 2002)
adalah Hare Krishna, Say Studi Group, Brahma Kumaris, Trancendental Meditation,
Veerasaivisme, dan lain-lain. Secara alamiah, umat Hindu di Bali yang tergabung
dalam berbagai soroh tidak menyukai keberadaan sampradaya-sampradaya tersebut.
Hal ini terjadi karena mereka memiliki perbedaan penekan dalam menjalankan
ajaran agamanya, yang satu lebih menekankan aspek spiritual, sedangkan yang
lainnya lebih berkutat pada aspek ritual tanpa disertai upaya pemahaman
filsafatnya. Tampak bahwa dalam berbagai sampradaya, terdapat
upaya yang bersungguh-sungguh dalam memberikan pengetahuan rohani dan
pendidikan nilai-nilai ajaran Veda kepada generasi muda Hindu khususnya, dan umat
Hindu pada umumnya. Hasil dari kegiatan seperti itu adalah terciptanya generasi
muda Hindu yang bertaqwa kepada Tuhan, memiliki budi pekerti yang luhur, dan
bermoral tinggi. Namun demikian, kegiatan pendidikan nilai-nilai agama yang
dilakukan oleh berbagaisampradaya tersebut masih mendapat tentangan
dari kalangan pedanda, sulinggih dan brahmana keturunan yang
masih membanggakan dirinya sebagai keturunan tri wangsa.
Dari pemaparan di atas, tampak jelas bahwa umat Hindu di Bali masih
terperangkap pada konflik-konflik kepentingan dan kemelut antar kelompok, yang
bersifat superfisial. Bahkan kepengurusan Parisada Hindu Dharma Indonesia
sebagai lembaga tertinggi umat Hindu di Indonesia, ditengarai masih dimonopoli
oleh kaum tri wangsa. Dominasi kepentingan kaum tri
wangsa ini terlihat dengan jelas pada pelaksanaan Lokasabha IV PHDI
Bali, yang jelas-jelas melanggar kebijaksanaan yang ditetapkan oleh PHDI Pusat,
sebuah lembaga yang kedudukan dan wewenangnya lebih tinggi. Selain itu,
terdapat kecenderungan umat Hindu di Bali untuk mencari identitas diri mereka
dengan cara menelusuri kembali garis keturunan para leluhurnya. Mereka kemudian
membentuk soroh, gotra, ataupungkusan yang dalam
prakteknya menjadikan warga soroh tertentu membanggakan
leluhurnya yang dianggap lebih tinggi derajatnya dari leluhur soroh yang
lain. Proses pembodohan umat juga masih dilakukan oleh golongan-golongan
tertentu, misalnya dengan masih mempertahankan konsepTri Sadhaka atau Tri
Wangsa dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan. Ritual keagamaan
dibuat sedemikian megah dan rumitnya dengan biaya yang mahal, tanpa disertai
upaya penjelasan filosifi dan maknanya. Generasi muda Hindu yang mencoba
melakukan revitalisasi dan pelurusan terhadap penyimpangan yang terjadi, dengan
mengajak kembali pada ajaran Veda, justru dituduh ingin “meng-India-kan” Bali.
Konflik-konflik kepentingan tersebut yang terjadi secara berkepanjangan,
bermuara pada terabaikannya kegiatan pembinaan dan pendidikan nilai-nilai
religius umat Hindu di Indonesia
Sumber pemicu konflik-konflik kepentingan tersebut dapat dengan jelas
ditelusuri kembali asal-usulnya. Yaitu sebagai akibat masih kuatnya warisan
pengaruh sistem kasta, atau sistem wangsa yang diperkenalkan
oleh Dang Hyang Nirartha pada abad ke-15 Masehi. Sistem wangsa tersebut
berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam proses hilangnya
komponen-komponen pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama Hindu kepada umat
Hindu di Indonesia.
Sistem wangsa menganggap seseorang otomatis sebagai brahmana
bila ia terlahir dalam keluarga brahmana. Padahal menurut konsep Catur
Varna, seseorang disebut brahmana bukan karena kelahiran. Seseorang disebut
brahmana bila ia memiliki sifat dan pekerjaan kebrahmanaan, yaitu :samah (kedamaian), damah (mengendalikan
diri), tapah (pertapaan), saucam (kesucian), ksantih(toleransi), arjavam (sifat
kejujuran), jnanam (pengetahuan), vijnanam (kebijaksanaan),
dan astikyam(taat kepada prinsip keagamaan) sebagaimana yang
diajarkan dalam Kitab Bhagavad-gita (18.42). Jelaslah bahwa
pengakuan seseorang sebagai brahmana bukanlah tergantung pada kelahiran dan
keturunannya, melainkan berdasarkan sifat-sifat mulia yang dimilikinya.
Dalam prakteknya, sistem wangsa di Bali mengakui seseorang
sebagai brahmana, kalau ia lahir dalam garis keturunan Dang
Hyang Dwijendra dan Dang Hyang Asthapaka. Padahal, perilaku mereka seringkali
tidak mencerminkan kesucian dan perilaku seorang brahmana. Hal ini sama dengan
seorang anak yang terlahir dalam keluarga dokter otomatis dianggap sebagai
dokter. Sudah barang tentu dibutuhkan latihan dan pendidikan yang benar untuk
melihat apakah anak tersebut memang memiliki bakat untuk menjadi dokter. Dalam
praktek kesehariannya, para brahmana keturunan tersebut justru memelihara
kebiasaan berjudi dan menyabung ayam dalam komplek-komplek tempat
persembahyangan umat Hindu. Mereka tidak memiliki pengetahuan agama Hindu yang
benar, dan melaksanakan berbagai ritual keagamaan hanya berdasarkan
sistem gugon tuwon (dipercaya secara tradisi turun temurun)
dan lebih bermotif ekonomi (Majalah Hindu Raditya, Juni 2002).
Dalam sistem brahmana keturunan seperti itu, tidak ada lagi yang dapat
diharapkan menjadi seorangguru atau acarya (guru
spiritual) dalam artian yang sesungguhnya. Karena dalam diri mereka tidak
pernah terjadi pembelajaran ajaran-ajaran Veda, dan tidak pernah mempraktekkan
ajaran-ajaran Veda tersebut secara tulus dalam keseharian mereka. Yang terjadi
adalah upaya untuk mempertahankan posisi mereka di mata umat, dengan melakukan
upaya-upaya pembodohan umat. Keadaan demikian yang berlangsung terus menerus di
Bali, mengakibatkan terputusnya garisparampara Hindu di Bali.
Untuk mempertahankan sistem wangsa di Bali golongan brahmana
keturunan berusaha menghalangi orang-orang muda Hindu yang ingin belajar Veda.
Mereka menyebarkan paham bahwa Veda bersifat keramat, sakral, dan tidak boleh
di baca oleh sembarangan orang. ”Sakaralisasi” Veda ala sistemwangsa tersebut
sangat berbeda dengan pola pendidikan gurukula yang merupakan
sistem pendidikan tradisional dalam kebudayaan Veda. Dalam kebudayaan Veda,
sejak dini seseorang mulai diajarkan untuk mempelajari Veda, bahkan sejak usia
lima tahun hingga usia lebih kurang dua puluh lima tahun, tergantung kepada
kemampuan siswa tersebut. Dalam masa brahmacari seperti,
seseorang dikirim ke rumah seorang guru atau acarya untuk
tinggal bersama mereka dan mempelajari Veda di bawah bimbingan orang-orang yang
terpelajar dalam pengetahuan Veda. Mereka menjadi sisya (murid)
dengan cara tinggal di asrama atau tempat pemondokan yang disediakan oleh gurunya.
Oleh karena itulah, pola pendidikan seperti itu disebut gurukula. Dengan
sistem wangsa seperti di Bali yang mengkeramatkan Veda, dapat
dimengerti mengapa pendidikan tradisional agama Hindu di Indonesia menjadi
tidak berfungsi hingga saat ini. Ini merupakan salah satu bukti lagi
penyimpangan dari sifat seorang brahmana menurut Veda. Seseorang disebut
brahmana sejati, bukan menurut garis kelahiran dan keturunan, bila ia
terpelajar dan menguasai pengetahuan Veda, dan berusaha dengan segala
kemampuannya untuk mengajarkan pengetahuan spiritual itu kepada masyarakat.
Bila tidak demikian, ia tidak dapat diakui sebagai seorang brahmana, walaupun
terlahir sebagai anak seorang brahmana.
Sistem wangsa di Bali juga bertanggung jawab terhadap
kurangnya kesadaran umat Hindu di Bali untuk membangun sarana dan prasarana
pendidikan agama Hindu di Indonesia. Terjadi persaingan antar golongan dalam
upaya meraih pengakuan masyarakat terhadap status sosial mereka. Mereka lebih
rela berlomba-lomba menyumbangkan dana untuk melaksanakan upacara-upacara adat
atau pembangunan pura yang megah yang membutuhkan biaya tinggi. Menurut data
statistik, penduduk Bali memiliki tingkat pendapatan perkapita tertinggi
di seluruh Indonesia. Namun besarnya pendapatan tersebut belum dibarengi
dengan kesadaran untuk mengalokasikan dana guna pengembangan pendidikan bagi
generasi muda Hindu.
The best place to go for the gambling business in Las Vegas
BalasHapusThe only 제주 출장마사지 place 동두천 출장마사지 for a casino to go for the gambling business. The only place 이천 출장마사지 for a 경주 출장마사지 casino to go for the gambling business in 동해 출장샵 Las Vegas.